JAKARTA - Dunia sedang menghadapi percepatan krisis iklim.

Pola cuaca yang tidak menentu, naiknya permukaan laut, hingga penurunan keanekaragaman hayati kini menjadi realitas yang tidak dapat diabaikan.

Dampak terberat justru dirasakan kelompok masyarakat paling rentan.

Di tengah ancaman tersebut, para ahli dan pemangku kepentingan menegaskan: transisi energi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.

"Perubahan iklim adalah kenyataan, dan mereka yang paling rentan menanggung konsekuensinya," kata Dr Erna Setani, Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Ristek Universitas Mercu Buana, pekan lalu.

Hal itu disampaikan Erna Setani di seminar bertema Urgensi Transisi Energi Mencegah Dampak Perubahan Iklim yang diselenggarakan di Jakarta yang dipandu Assoc Prof Dr Leila Mona Ganiem. 

Acara tersebut merupakan bagian dari Diskusi Kebangsaan MPR RI bersama Universitas Mercu Buana

Menurut Erna Setani, akar dari berbagai gangguan lingkungan terletak pada ketergantungan dunia yang berkepanjangan terhadap bahan bakar fosil.

Sektor energi masih menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca secara global.

Jika tidak ada perubahan dalam cara produksi dan konsumsi energi, maka risiko kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap kesejahteraan manusia akan semakin besar.

Transisi energi peralihan dari energi berbasis karbon menuju sumber energi bersih dan terbarukan seperti surya, angin, air, dan geotermal kini dipandang sebagai kebutuhan moral, ilmiah, dan strategis.

Namun, perubahan ini tidak cukup hanya pada tataran teknologi.

"Yang dibutuhkan adalah pergeseran pola pikir, kebijakan, hingga gaya hidup, dan itu harus dimulai sekarang, karena penundaan hanya akan meningkatkan risiko dan biaya," kata Erna.

Eddy Soeparno, Wakil Ketua MPR RI, yang turut hadir dalam seminar ini juga menyoroti urgensi kolaborasi lintas sektor dalam mempercepat transisi energi.

"Kita tidak bisa menunggu, transisi energi harus dilakukan sekarang, dan harus melibatkan seluruh elemen  pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat, ini adalah tanggung jawab kolektif," kata Eddy Soeparno.

Baca juga: Dorong Transisi Energi, PLN Gaet 63 Startup Berbasis Teknologi Hijau di Ajang Startup Day 2025

Saat ini pihaknya memperjuangkan lingkungan hidup bersih dan udara sehat melalui koridor demokrasi, di antaranya; Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (RUU EBET) di DPR RI.

RUU itu telah memasuki tahap final dan secara teknik siap disahkan.

Ada juga upaya mendorong percepatan transisi energi menuju energi terbarukan dan peralihan energi fosil ke energi 'hijau' sebagain keharusan bukan pilihan.

Baca juga: PLN IP Manfaatkan Green Ammonia untuk Energi Primer PLTU demi Akselerasi Transisi Energi

Yuriadi Kusuma, Dosen Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana, menyoroti perlunya kampus menerapkan aturan untuk hemat energi melalu langkah kongkret, seperti suhu pendingin ruangan yang tidak terlalu jauh di bawah suhu luar ruangan. 

Di tengah tantangan tersebut, lembaga pendidikan tinggi disebut memiliki peran penting dalam membangun kesadaran publik dan menyiapkan generasi penerus yang peduli lingkungan.

Universitas Mercu Buana, misalnya, telah menggagas program 'Semercu Sahabat Bumi', gerakan lingkungan yang melibatkan dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, dan alumni dalam kampanye gaya hidup hijau, penanaman pohon, serta pengelolaan sampah.

Program tersebut sejalan dengan komitmen terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan menjadi salah satu upaya konkret membangun kepemimpinan hijau dari dunia pendidikan. https://wartakota.tribunnews.com/2025/06/12/universitas-mercu-buana-dan-mpr-ri-kolaborasi-serukan-transisi-energi-nasional-hadapi-krisis-iklim